Cerita dari Sleman (1): Penguasa Selatan tanpa Pemimpin




Laman  bcsxpss.com terlihat rapi. Didominasi warna hitam, laman itu menyajikan banyak informasi mengenai Brigata Curva Sud (BCS) yang disusun ke dalam enam rubrik. Di antara enam rubrik itu, ada satu yang menarik perhatian kami lantaran menggunakan istilah yang terbilang jarang ditemukan di sepakbola, yaitu manifesto.

Rubrik ini berisi berbagai macam aturan dalam tubuh BCS. Total ada delapan yang tertulis di sana. Salah satunya adalah ‘No Leader, Just Together’. Manifesto itu kurang lebih memiliki arti seperti ini: tidak ada kepengurusan atau tidak ada pemimpin, yang ada hanyalah kebersamaan.

Manifesto tersebut sempat membuat kami bingung menentukan siapa yang berwenang untuk dimintai keterangan demi kelengkapan tulisan. Beberapa kenalan yang sudah tinggal lama di Yogyakarta, mengatakan, memang sulit mencari sosok yang pas untuk diwawancarai jika hendak mencari tahu tentang kelompok suporter PSS Sleman ini. Kebanyakan dari mereka enggan memberikan komentar, kata mereka. Sejumlah penulis dan wartawan sepakbola setempat juga berkata serupa.

Hingga beberapa waktu kemudian, seorang kawan yang merupakan Sleman Fans bernama Rianto memberi sebuah nama beserta kontak Whats App. “Namanya Mas Zulfikar. Bilang aja dapat kontaknya dari anggota Sleman Fans Bandung,” Rianto menulis via pesan singkat.

Dengan didapatnya nama dan kontak itu, dimulailah perjalanan kami menemui sosok Zulfikar.

***

Fikar, begitu ia biasa disebut, bukanlah orang sembarangan di BCS. Manajer PSS Sleman, Arif Juliwibowo, mengenal ia sebagai salah satu sosok sentral dan banyak dikenal oleh para suporter Sleman. “Dia seperti pelaksana harian BCS,” katanya.

Walau demikian, pada pagi hari tanggung saat ditemui di sekretariat Brigata Curva Sud, Jalan Delima Raya, Depok, Sleman, Fikar justru mengenalkan diri sebagai relawan.

“Saya volunteer, Mas, relawan,” katanya diiringi senyum.

Kepada kami, Fikar memberi komentar soal didaulatnya BCS sebagai salah satu ultras terbaik di Asia oleh Copa90 pada Februari 2017 lalu. “Saya pribadi ndak terlalu peduli tentang penghargaan itu. Tujuan kami di BCS cuma untuk mendukung PSS Sleman seratus persen. Bukan untuk meraih penghargaan atau pujian orang lain,” katanya. 

Meski begitu, Fikar mengaku tetap bangga. Sebab menurutnya, didaulatnya BCS sebagai ultras terbaik di Asia oleh salah satu media sepak bola digital kenamaan dunia itu merupakan salah satu bentuk pengakuan atas loyalitas dan kreativitas BCS dalam mendukung PSS. Yaahhh... walau mereka sendiri tak mengharapkan pengakuan.

Kami kemudian menyinggung soal tidak adanya ketua atau pemimpin dalam tubuh BCS sebagaimana yang tercantum di laman mereka. Fikar menjelaskan, aturan tersebut diberlakukan agar semua anggota memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam setiap pengambilan keputusan serta melaksanakan tiap kebijakan yang telah disepakati. 

Lalu, bagaimana keputusan diperoleh?

Menurut capotifo BCS, Batak, begitu anggota BCS memanggilnya, setiap kebijakan atau keputusan yang menyangkut kepentingan BCS diperoleh melalui forum. “Karena BCS tidak memiliki struktur organisasi, maka segala keputusan diambil lewat forum,” katanya. Hal ini senada dengan yang diungkapkan Fikar. “Lewat forum,” ucapnya singkat. 

Dalam forum, semua orang yang hadir berhak menyampaikan gagasan atau pendapat. Pendapat atau gagasan itu kemudian akan disaring dan didiskusikan untuk mencapai kesepakatan bersama.

Forum yang dilaksanakan berlangsung secara terbuka. Artinya, semua anggota BCS berhak hadir pada forum itu. Namun, menurut Batak, peserta yang hadir biasanya hanya perwakilan dari tiap komunitas. “Setiap komunitas yang ada di BCS akan secara bergantian menjadi tuan rumah forum,” ungkap Batak.

Hal-hal yang dibahas dalam forum biasanya mengenai koreografi, keuangan, hingga soal klub yang mereka dukung. Menurut Batak, pengambilan keputusan lewat forum lebih efektif daripada lewat keputusan tunggal atau melalui ketua. “Alhamdulillah, sejauh ini efektif dan berjalan dua arah. Tidak ada orang tertentu yang mendominasi,” ujar Batak.

Seorang lelaki yang kami temui sesaat setelah mengantri tiket pertandingan PSS di Maguwoharjo, mengatakan, forum juga menjadi wadah silaturahmi bagi BCS. Lelaki itu mengaku sebagai anggota BCS. Sayang, ia menolak namanya disebutkan. “Kalau keterangannya silakan saja,” ujarnya.

***

Selain bertujuan menyamakan hak dan kewajiban setiap anggota, ‘no leader just together’ atau tidak adanya ketua diberlakukan agar BCS tak bisa disusupi unsur politik. Mereka memang melarang keras politik masuk ke tribun selatan sebab hal itu dianggap dapat menjadi pemecah belah.

Contohnya seperti yang terjadi beberapa tahun lalu. Saat masa pemilihan kepala daerah, salah satu calon mendekati BCS untuk meraih banyak masa. “Beruntung kami tidak memiliki ketua. Kalau ada ketua pasti gampang didekati karena hanya seorang. Kalau tanpa ketua ‘kan mereka-mereka itu jadi bingung mau deketin siapa,” jelas Fikar. 

Walau demikian, BCS sama sekali tidak melarang jika ada anggota yang ingin berpolitik. “Asal tidak dibawa masuk ke tribun,” ujar Fikar lagi.

Di Indonesia, tidak adanya ketua di dalam kelompok suporter bukanlah hal yang benar-benar baru. FourFourTwo Indonesia pernah mengisahkan Bonek dan Aremania dalam salah satu artikelnya. Di sana, mereka menyebut bahwa kedua kelompok suporter asal Jawa Timur itu juga memiliki kultur serupa: tak ada ketua dan tak ada kepengurusan yang benar-benar jelas.

Namun, BCS tentu berbeda dengan dua kelompok itu, juga dengan kelompok suporter lain di Indonesia. Mereka benar-benar tidak mengedepankan kultus individu sehingga untuk meminta keterangan atau komentar mengenai BCS saja, sulitnya minta ampun. Kami sadar betul hal ini.

Kendati demikian, tak ada ketua justru membuat mereka bergerak lebih rapi dan terarah. Itu salah satunya nampak dari koreografi dan chants di tiap pertandingan PSS Sleman yang selalu padu.




Randy Aprialdi, seorang pandit yang mengkhususkan bahasan seputar kultur tribun stadion, mengungkapkan, salah satu yang mendasari kekompakan BCS adalah para anggota yang kebanyakan terpelajar. 

“Setahu saya, sebagian anggota BCS adalah mahasiswa dan mantan mahasiswa serta pelajar sekolah. Karena itu, biasanya mereka punya banyak referensi dan literatur dalam mengkoordinir massa yang besar. Makanya mereka amat progresif,” ujarnya.

Penulis buku Sepakbola Seribu Tafsir, Eddward S. Kennedy, punya gambaran berbeda. Menurut dia, kesadaran dalam memahami kesetaraan individu menjadi salah satu yang memengaruhi kekompakan BCS. Prinsip ‘sama rata sama rasa’ dianggap sangat mungkin terjadi pada sebuah unit kolektif yang memiliki tujuan yang sama. Basis dasar teori dari prinsip ini adalah anarkisme.

Sementara itu, Wahyu Gunawan, ahli sosiologi dari Universitas Padjadjaran, menyebut kepatuhan anggota BCS terhadap aturan yang berlaku meski tak memilik ketua sebagai sesuatu yang menarik dan jarang ditemukan pada kelompok-kelompok berskala besar. Ia menjelaskan, guyub (kerukunan) dengan solidaritas tinggi seperti itu merupakan ciri kelompok tradisional khas masyarakat Jawa. 

“Tapi tampaknya roda program kegiatan bersama berlangsung di antara kelompok kecil atau koordinator,” ujarnya. Dan benar, BCS memang memiliki kelompok-kelompok kecil yang oleh mereka disebut sebagai komunitas.


***

Mulanya BCS tak sebesar sekarang. Pada musim kompetisi 2008/2009, mereka hanya terdiri dari sekelompok kecil orang yang masih berada di bawah payung Slemania. Bila dibandingkan dengan kelompok suporter PSS yang lebih dulu berdiri itu, jumlah mereka tentu amat sedikit. Meski begitu, dengan jumlah yang masih sedikit dan masih terikat tersebut, mereka sudah mulai berusaha membentuk identitas yang berbeda dengan Slemania.

Pada musim itu, BCS masih dikenal sebagai Ultras PSS. Memakai pakaian serba hitam, mereka mulai menduduki tribun selatan Stadion Maguwoharjo, tribun yang berhadapan langsung dengan Slemania di sisi utara. Sebelumnya, tribun selatan biasa ditempati para suporter tim tamu yang bertandang ke Sleman. 

“Mereka terlihat berusaha tampil beda dengan Slemania karena menganut konsep ultras, misalnya dengan biasa mengenakan pakaian hitam,” ungkap Kefin Sabriansyah, anggota salah satu komunitas BCS.

Konsep yang dimaksud Kefin itu adalah cara pandang atau gaya dukungan yang dianut BCS. BCS memilih ultras sebagai konsep atau ideologi mereka. Artinya, mereka akan menerapkan apa yang menjadi dasar, aturan, dan ciri khas ultras, seperti mengenakan pakaian hitam dan mengedepankan kreativitas dalam mendukung tim. Mereka juga tidak pernah duduk ketika mendukung tim. Ini kemudian membuat beberapa klub top eropa membuat tribun tanpa kursi, khusus untuk ultras.

Nyaris semua anggota BCS saat pertama terbentuk pernah menjadi Slemania. Orang-orang itu membentuk kelompok baru lantaran memiliki perbedaan pandangan, salah satunya adalah soal adanya ketua. Maka tak heran, saat pertama terbentuk hingga sekarang, BCS memilih untuk tidak mengedepankan kultus individu.

Pada saat pertama terbentuk sebagai Ultras, BCS diremehkan. Sebabnya, mereka hanya memiliki anggota yang sedikit namun tetap mendukung tim yang ketika itu nyaris bangkrut. Tapi karena memiliki mimpi membangun PSS dengan semangat ultras dan kreativitas yang mereka miliki, mereka tak peduli: ‘ora muntir’!

Lama-kelamaan, mereka mulai diakui. Terutama berkat aksi kreatif lewat koreografi dan chants yang hanya berisi dukungan untuk PSS –biasanya para suporter menggunakan chants yang berisi ejekan atau makian kepada tim lawan. Hingga pada awal 2011, mereka terbentuk secara resmi dan menanggalkan nama Ultras –sekaligus melepaskan diri dari Slemania-- yang diganti dengan Brigata Curva Sud (BCS). “Laga melawan Persebaya saat itu kita angkat sebagai momen berdirinya BCS,” jelas Fikar. Waktu itu, BCS sudah terdiri dari sekitar 5 komunitas.

BCS lahir di saat yang tepat. Saat Slemania mengalami penurunan dan banyak anggota yang tidak sepaham dengan aturan di sana, mereka hadir dengan gaya berbeda yang menjadi alternatif. Mereka dianggap lebih progresif.

Gaya berbeda itulah yang membuat BCS menjadi sorotan dan berkembang pesat sehingga mereka mendapat nama di Sleman. “Saat pertama bergabung, saya yakin BCS dapat membuat pergerakan yang berdampak positif bagi PSS,” kata Kefin.

Meski sudah memiliki nama dan diakui eksistensinya, BCS masih kerap mendapat hambatan. Pada laga menghadapi Persipasi Bekasi di Maguwoharjo beberapa tahun yang lalu, BCS tidak diizinkan mengisi tribun selatan karena akan digunakan suporter tim tamu. Karena menghormati suporter tim tamu itu, mereka mengalah. Namun, itu tidak berarti mereka tidak bisa mendukung PSS. Di halaman luar stadion, BCS tetap bernyanyi dengan keras dan lantang.

Larangan masuk ke stadion itu terus berhembus. Hingga kemudian, ada satu sosok yang membuat BCS kembali diperbolehkan masuk ke stadion mengisi tribun selatan. Sosok itu bernama Trimurti Wahyu Wibowo.

Wahyu merupakan salah satu tokoh suporter sepakbola Sleman. Namanya harum sebagai sosok yang cinta damai dan memiliki semangat tinggi dalam mendukung PSS. Nyaris semua suporter sepakbola Sleman mengenalnya. “Ia dikenal sampai ke Jogja,” ujar Bijak. Menurut penuturan Bijak, Wahyu-lah yang melobi panitia pelaksana PSS agar BCS kembali diizinkan mengisi tribun selatan. Bijak adalah anak sulung almarhum Wahyu. Ia juga merupakan anggota BCS.

Kini, setelah tujuh tahun berdiri, BCS sudah terdiri dari 256 komunitas. Mereka semakin besar dan memiliki nama di kancah sepakbola Indonesia. Tribun selatan yang berkapasitas sekitar delapan sampai sepuluh ribu orang itu selalu dipenuhi BCS. Bahkan, ada yang terpaksa berada di timur karena tribun selatan sudah penuh sesak.

Tak hanya di Indonesia, nama besar mereka bahkan dikenal sampai ke tingkat dunia. “Fantastis! Saya sangat mengapresiasi ini, Indonesia punya suporter hebat,” tulis Adrian Stefanescu dalam kolom komentar salah satu video BCS di Youtube. Ia mengaku sebagai pendukung STEAUA Bucharest.

Nama besar BCS juga membuat mereka dihormati masyarakat Sleman dan suporter lawan. Anton, seorang pedagang yang biasa menjajakan dagangannya di sekitar Maguwoharjo tiap kali PSS berlaga, mengatakan, BCS pernah membantu pedagang yang dagangannya dirusak atau ‘dipalakin’. “Saya tak terlalu ingat persisnya kapan. Tapi seingat saya BCS pernah mengajak suporter lawan yang merusak atau malakin dagangan untuk bertemu dengan pedagangnya. Mereka memediasi semuanya agar orang-orang itu mempertanggungjawabkan perbuatannya,” kenang Anton.

***
Pada akhir 2015, BCS menghelat laga uji tanding bertajuk “Cinta dan Dedikasi”. Laga yang mempertemukan PSS Sleman dengan Bali United itu bukan untuk uji tanding biasa, melainkan sebagai persembahan BCS untuk para pemain yang menjadi korban ‘sepakbola gajah’ yang melibatkan PSS Sleman dan PSIS Semarang pada 2014 lalu. Pihak manajeman menyambut baik, sebab mereka ingin mengingat dan mengevaluasi kejadian itu untuk pembelajaran bersama.

BCS menggelar laga itu bukan untuk memperingati aib, tetapi merupakan bentuk perjuangan dalam membela hak para pemain dan pelatih. Lewat laman resmi mereka, bcsxpss.com, BCS menyebut laga itu sebagai Hari Kebangkitan Brigata Curva Sud.

Sementara itu, manajer PSS Sleman menganggap laga itu sebagai momen yang paling berkesan bagi PSS. Momen itu, baginya, menjadi tonggak bangkitnya sepakbola di negeri sembada dari keterpurukan pasca insiden sepakbola gajah. “Itu menjadi penanda dimulainya era baru PSS menuju sepakbola industri. Efeknya besar sekali,” katanya.

Tak dapat dimungkiri, BCS adalah salah satu nafas yang menggerakkan PSS Sleman dan juga sepakbola Sleman secara umum. Kreativitas dan loyalitas yang mereka miliki membangkitkan sepakbola Sleman yang sempat terpuruk akibat insiden sepakbola gajah. Mereka adalah alasan yang membuat para pemain PSS sampai menitikkan air mata ketika kalah atau bermain buruk dalam suatu pertandingan. “Saya akan sangat malu kalau bermain buruk, karena mereka selalu mendukung dengan luar biasa,” ujar Dirga Lasut, pemain PSS Sleman.


Tulisan kedua
Tulisan ketiga

Tulisan keempat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar